Quantcast
Channel: Flashfiction – Chem Is (always) Try
Viewing all articles
Browse latest Browse all 10

Bersin

$
0
0
Kakak lelakiku punya kebiasaan unik. Dia selalu bersin sangat keras. Selalu memekakkan telinga dan mengagetkan siapapun yang berada radius sepuluh meter darinya. “Itu bukan kebiasaan,” katanya, “tapi keturunan.”

Kakak terus terang tentang ‘gaya’ bersinnya. Katanya, dari dulu ia selalu bersin seperti itu, dan semakin mengeras seiring ia beranjak dewasa. “Kamu gak pernah perhatiin kakak, sih. Sekarang aja kebetulan bersinnya full power, kamu baru sadar. Harusnya kamu juga bersin kayak kakak. Ini keturunan, dek,” jelasnya. “Kamu gak lihat bapak sama ibu kalau bersin?”

“Tapi, kan gak sekeras itu?” aku membantahnya.

“Ya emang harus kayak gini.” Ia sewot. “Bersinnya bapak tambah sama punya ibu. Jadinya harus keras, dong. Kamu? Jangan-jangan bukan anak ibu.” Ia mengolokku.

 ***

Aku menyodorkan handphone-nya. Aku baru saja membaca sebuah artikel. Kupikir akan berguna untuk kakak. Di artikel itu tertulis bahaya bersin jika terlalu keras. Menurut tulisan itu, bersin yang kelewat kencang bisa menyebabkan tulang rusuk manusia retak, bahkan patah. Aku menyodorkan lagi padanya. Namun dia mengabaikanku. Dan terus fokus pada game di komputernya.

Aku mendengus kesal lalu meninggalkannya. Aku juga sengaja tidak menutup browser yang baru saja kubuka. Kuharap dia mau membacanya selepas aku keluar dari kamar ini.

Aku menuju kamarku, kembali mengulik PR IPA-ku. Aku terbiasa mengerjakan PR tanpa bantuan kakak. Jika kesulitan, aku akan meminta bantuan kepada selain kakak. Dia enggan lagi mengajari materi pelajaran semenjak aku kelas tiga SD hingga sekarang kelas enam, ketika menjelang ujian nasional.

***

Lagi-lagi. Dari kamarku, aku mampu mendengar bersin kakak. Amat keras. Kukira dia sudah membaca artikel itu.

Sebagai informasi, bersin kakakku biasanya tiga kali atau lebih. Jadi, aku masih menunggu suara bersin kedua yang amat lama jedanya ini. Bahkan hingga menit ke lima sejak ia bersin pertama tadi, tak terdengar bersin lanjutannya. Aku khawatir tadi adalah bersin terkencang semasa hidupnya.

Aku berlari ke kamarnya. Aku khawatir.

“Kakak?!”

Ia menutup hidungnya dengan kedua tangan. Ada cairan merah yang menembus buku-buku jarinya. Cairan itu mirip darah. Menetes menodai kaus dan celana pendek yang ia kenakan. Ia seperti meringis kesakitan.

“Kenapa, Kak?!” Aku benar-benar cemas.

“Pa-tah! Pang-gil i-bu….” Ia berbicara seperti berkumur.

Aku berbalik, meninggalkannya, mencari ibu.

Aku kebingungan. Apakah bersinnya yang terlalu keras itu justru menyebabkan hidungnya berdarah?

Oh, bukan! Atau mungkin tadi dia justru sengaja menahan bersinnya?

Sepertinya, ia belum membaca bagian bahaya jika seseorang menahan bersin.

Aku harus segera menemui ibu… [R]


Viewing all articles
Browse latest Browse all 10

Trending Articles