Untungnya petak tanah tempat makam itu dibatasi tembok bata setinggi satu setengah meter. Sehingga, aku tak akan melihatnya secara langsung dari teras rumah.
Hari sabtu sore, di tempat langgananku makan, yang kini sepi karena mayoritas pelanggan warung ini adalah perantau yang pulang tiap pekan, aku mencoba mencari penjelasan. Selama sebulan sejak makam itu dipugar, aku belum bertanya langsung pada warga asli daerah sini, yang tentu saja lebih tahu tentang seluk beluk makam itu.
Kuharap ibu penjual ini tahu, siapa yang dikubur―atau terkubur―di makam itu.
Ibu ini cukup tua untuk tahu sejarah tempat ini. Aku yakin dia mampu bercerita lama. Orang tua selalu suka bercerita.
Apalagi, aku satu-satunya pelanggan yang saat ini makan di warungnya.
“Bu, makam yang di depan itu punya keluarga siapa? Kenapa dulu dibiarkan terus baru dibersihkan sebulan ini?” tanyaku saat dia menyodorkan sepiring nasi dan lauk padaku.
Ia menatapku heran. Dan cemas. Agak lama. Lalu ia berpaling, membelakangiku.
“Ssst…. Diam di situ, jangan pindah tempat,” perintahnya.
Tiba-tiba lampu-lampu mati. Suasana menjadi gelap total. Aku serasa berada di sebuah ruangan pengap dan gelap. Samar kurasakan hembusan napas menderu di dekat leherku.
Aku berjanji tak akan menanyakan hal itu lagi pada siapapun. [R]