Quantcast
Viewing latest article 3
Browse Latest Browse All 10

Usia

Pagi menyapa dengan begitu lembut. Aku ingin mengingat pagi ini. Aku ingin mengingat pagi yang mengantarkanku pada usia berbilangan cantik ini. Kelak, ketika aku sudah benar-benar tua, aku akan membagikan kenangan ini pada seseorang yang merayakan hari lahirnya, yang memasuki usia sama seperti yang kualami sekarang.
Seandainya aku mampu mendengar suara tetesan embun di daun-daun tanaman di sekitar rumah, tentu telingaku akan amat terganggu. Alam menyambut pagi ini selayaknya aku menyambut usia baruku. Aku akan berterima kasih padanya, andaikan ia mampu mendengar.
Langkah-langkah pelan kuarahkan menuju kamar-kamar di rumah ini.
Kamar adikku yang pertama.
Lalu, kamar adikku yang lain.

Aku tersenyum saat membuka kamar mereka. Aku berhasil menahan keinginan mendengar sebuah kalimat tentang ucapan selamat. Mereka lupa mengucapkan selamat padaku. Aku beralih ke ruangan lain.

Kamar orang tuaku.

Aku tersenyum lagi. Miris. Aku memang tak akan memperoleh satu kalimat pun hingga aku sendiri yang mengucapkannya pada diriku sendiri.

Mereka―adik-adik dan orang tua―tak pernah ada. Aku dibesarkan di sebuah panti. Kini, ketika usiaku memasuki 39 (menurut pengasuh, aku lahir tanggal sekarang, tahun 1975), aku masih saja mengharapkan sebuah keluarga; ibu, ayah, dan dua orang adik.

Dulu saat aku 19, aku sudah harus bekerja. Dan ketika 24, aku memiliki rumah sendiri. Aku tinggal di sini selama lima belas tahun, seorang diri, dengan tiga kamar kosong untuk setiap anggota keluarga bayanganku. Sayangnya, mereka tak pernah ke sini.

Aku tersenyum lagi. Sinis. Semestinya aku menciptakan keluargaku sendiri; istri, dan anak-anak. Bukan malah seperti ini.

Aku 39. Pagi yang cerah. Saatnya turun gunung untuk mencari ‘keluarga’. 39, menurutku belum terlambat. [R]


Viewing latest article 3
Browse Latest Browse All 10

Trending Articles