Quantcast
Channel: Flashfiction – Chem Is (always) Try
Viewing all articles
Browse latest Browse all 10

Kaus

$
0
0

Aku mendengar kisah ini dari seorang kawan lama. Ia memaksaku memercayai ceritanya. Sekarang giliranku menyampaikan kisah yang sama padamu. Sama persis seperti yang dulu kawanku ceritakan. Tak ada yang kuubah. Hanya bedanya, aku tidak memaksamu untuk memercayai cerita ini.

Di sebuah stadion yang tidak disebutkan namanya, dia pernah menjadi saksi peristiwa itu. Waktu itu usianya baru saja memasuki belasan.  Ia datang menonton pertandingan bersama abahnya. Pertandingan liga antarkota.

Peristiwa itu terjadi ketika pertandingan usai. Ketika para pemain keluar dari stadion menuju bus masing-masing tim untuk pulang ke penginapan. Beberapa pemain yang memiliki nama besar terhambat laju jalannya menuju bus lantaran banyak penggemar yang memintanya membubuhkan tanda tangan di kaus, bola, atau di barang-barang yang mereka bawa.

Salah seorang penggemar yang kebetulan tidak membawa barang untuk ditandatangani terpaksa melepas kaus yang ia pakai, lalu ia sodorkan pada sang pemain. Suasana saat itu penuh sesak dan tak terkendali. Dua hingga tiga petugas keamanan yang menjaga agar tidak terjadi dorongan pada sang pemain kewalahan. Mereka harus segera mengantarkan sang pemain menuju bus agar tidak terjadi kekisruhan.

Cerita ini sebenarnya tentang salah seorang penggemar yang melepaskan kausnya tadi. Ia berhasil memperoleh tanda tangan dari pemain idolanya. Dengan susah payah ia meraih kausnya dari tangan pemain, sementara fokus sang pemain masih tertuju pada barang-barang yang harus ia tanda tangani.

Ia meraih kausnya kembali di antara desakan para penggemar. Ia berhasil karena dengan bertelanjang dada, mudah baginya menyusup ke sela-sela kerumunan. Namun, tiba-tiba sebuah tangan menarik kaus yang baru saja ia genggam. Tangan itu menarik kausnya berulang kali.

“Kaus gua! Anj*ng!” seru orang tak dikenal itu.

“Ini kaus saya, mas!” Ia mempertahankan diri. Sebab itu memang kausnya.

“Kaus gua!” Orang tak dikenal itu berseru semakin keras. “Maling! Kaus gua, maling!”

“Bukan!”

“Woy, maling! Maling!”

“Mana? Mana?”

“Dia, maling!”

Suasana menjadi lebih tak terkendali. Ia mempertahankan kausnya. Sementara orang-orang mulai mengamatinya.

“Dia, yang pegang kaus! Gak pake baju! Maling!” Seseorang berseru.

“Maling?!”

“Iya!”

Kemudian, tanpa ada komando, orang-orang mengerubutinya, melepaskan pukulan padanya. Ia tak bisa melawan. Orang-orang semakin ganas memukulinya. Ia tak berdaya.

Ketika terjadi kekisruhan, petugas keamanan tak mampu berbuat banyak. Mereka menyelamatkan sang pemain terlebih dulu. Setelah itu, setelah pengeroyokan terjadi amat lama, ia mendapati seseorang telah menjadi korban. Penggemar dengan kaus yang tergenggam itu telah tewas.

“Kamu di mana?”

“Aku menyaksikan dari luar kerumunan, di dekat penjual atribut bola,” jawabnya.

Jujur. Sebenarnya aku tak begitu percaya cerita tadi.

“Yah. Itu juga ditambah cerita dari abahku, yang waktu itu menyaksikan secara langsung. Aku cuma ingat sebagian. Lagipula aku masih bocah, bisanya ketakutan.”

“Kamu lihat mayatnya?”

Ia memandangku seakan terkejut.

“Enggak. Abah langsung menggendongku pulang.”

Aku menaikkan alis. Heran.

“Tapi,” tambahnya, “sejak saat itu, tak ada seorangpun yang boleh bertelanjang dada di depan stadion ***** ******** itu.”

Perlahan, aku mencerna kalimat terakhirnya. Cerita berakhir di situ. Seperti itulah kisahnya.

Sampai saat ini aku belum yakin cerita itu berdasarkan fakta. Sebab, sekarang aku sedang berdiri di depan stadion yang tidak disebutkan namanya ini dan melihat seseorang bertelanjang dada dengan kaus di tangannya berjalan ke arahku. Dan tidak terjadi apa-apa padanya. [R]


Viewing all articles
Browse latest Browse all 10

Trending Articles